Rakyat Dihantui Pengangguran Massal, Islam Beri Solusi Tuntas

OTANAHANEWS.COM – Gelar sarjana sebagian besar orang mengatakan sebagai pintu menuju masa depan cerah. Namun kenyataan di lapangan berkata lain. Makin banyak lulusan Universitas di Indonesia justru masuk dalam lingkaran pengangguran, menunggu tanpa kepastian, di tengah pasar kerja yang kian selektif dan jenuh. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tren yang mencemaskan.

Pada 2014, jumlah penganggur bergelar sarjana tercatat sebanyak 495.143 orang. Angka ini melonjak drastis menjadi 981.203 orang pada 2020, dan meski sempat turun menjadi 842.378 orang di 2024, jumlah tersebut tetap tergolong tinggi. Dilansir dari CNBC Indonesia.

Tenaga kerja lulusan perguruan tinggi seperti diploma dan sarjana terpaksa banting setir menjadi pembantu rumah tangga, pengasuh anak, sopir, bahkan office boy (pramukantor). Ini dilakukan demi bertahan hidup ditengah minimnya lapangan pekerjaan di sektor formal dan badai pemutusan hubungan kerja dalam beberapa tahun terakhir. Dilansir dari BBC News Indonesia

Bahkan di Gorontalo sendiri, angka pengangguran dikatakan oleh Kepala BPS Provinsi Gorontalo, Dwi Alwi Astuti, mengungkapkan selama periode Februari 2024-Februari 2025 berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), terjadi peningkatan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Provinsi Gorontalo sebesar 0,07 persen poin. Pada Februari 2024, TPT di Provinsi Gorontalo tercatat sebesar 3,05 persen, sedangkan pada Februari 2025 sebesar 3,12 persen. Dilansir dari Gopos.id.

Tidak Bisa Dianggap Remeh

Tingginya angka pengangguran menunjukkan bahwa gagalnya negara dalam menciptakan lapangan pekerjaan pada rakyat. Olehnya harus ada upaya agar angka pengangguran ini tidak semakin bertambah yakni dengan cara membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya karena itulah mengukur kesejahteraan di suatu negara. Jika melihat data dari International Monetary Fund (IMF) melaporkan Indonesia menjadi negara dengan tingkat pengangguran tertinggi di antara enam negara Asia Tenggara pada 2024.

Peringkat pengangguran Indonesia tersebut merujuk laporan World Economic Outlook April 2024. Sementara dalam laporan edisi April 2025 yang dirilis Selasa (22-4-2025), IMF memproyeksikan angka pengangguran di Indonesia mencapai 5% pada 2025, naik dari 4,9% pada tahun sebelumnya. Hal ini dapat respon dari mentri Keuangan Sri Mulyani dan Presiden Prabowo dengan penuh keyakinan mengatakan bahwa ekonomi Indonesia kuat dan akan terus tumbuh di masa depan. Alih-alih segera memikirkan solusi strategis, pemerintah justru berleha-leha sambil tetap mempertahankan klaim bahwa perekonomian kita dalam kondisi baik-baik saja.

Kepercayaan diri yang berlebihan dari pemerintah terkait kondisi ekonomi negara secara alami juga mengantarkan pada kesalahan analisis akan akar masalah yang sebenarnya. Diungkapkan Kemenaker ada 2 tantangan utama dalam pengangguran yaitu, pekerja indstri yang tergantikan oleh mesin kemampuan warga bergerak mencari kerja (agility).

Pemerintah melalui Kemenaker kemudian fokus pada dua masalah utama tersebut. Untuk tantangan pertama, pengusaha diminta untuk menurunkan derajat teknologinya sehingga lebih ramah dengan penyerapan tenaga kerja. Sedangkan perihal agility, pelatihan vokasi digadang-gadang menjadi jalan keluarnya. Para pencari kerja diberikan pelatihan untuk meningkatkan kompetensi (upskilling) atau memperbarui keterampilan yang sudah ada (reskilling).

Selain itu, mereka juga didorong untuk tidak sekadar memiliki kemampuan teknis, tetapi juga sekaligus soft skill-nya, yaitu untuk bersikap gigih, one-tech, serta tahan banting. Namun di lapangan, banyaknya sarjana yang akhirnya terpaksa bekerja di sektor informal sebagai supir, pramukantor, pengasuh bayi hingga pembantu rumah tangga cukup menjadi bukti bahwa masalah utamanya bukan soal skill dan rendahnya daya juang. Melainkan karena lapangan pekerjaannya memang tidak ada. Kalaupun pekerjaan itu ada, jumlahnya sangat tidak berimbang dibandingkan dengan jumlah tenaga kerja yang tersedia.

Sebenarnya menjadi akar masalahnya adalah penerapan sistem kapitalisme dimana pengelolaan aset-aset negara yang tidak berpihak pada rakyat. Sebagai contoh, dalam pengelolaan SDA sudah selayaknya negara melakukannya secara mandiri dan menyerap tenaga kerja dalam negeri yang lebih banyak. Namun realitasnya, pengelolaan SDA—baik dari sisi eksplorasi maupun eksploitasinya—kerap diintervensi negara lain. Tenaga kerjanya pun banyak dari luar. Lapangan kerja di dalam negeri yang terlalu kompetitif, membuat banyak individu memilih untuk merantau atau menjadi tenaga kerja di negeri orang. Ini jelas tidak bisa dianggap remeh.

Islam Solusi Tuntas Atasi Pengangguran

Dalam Islam negara wajib mengurusi urusan rakyat, bahkan dengan pengurusan yang sempurna. Islam memilki konsep untuk mengatasi penganguran, diantaranya:

Pertama, salah satu mekanisme untuk memenuhi kebutuhan adalah dengan bekerja. Dengan begitu, negara berperan penting untuk membuka lapangan kerja, terutama bagi para ayah/wali yang mengemban kewajiban dari Allah Swt. untuk mencari nafkah. Pada tataran ini, negara juga akan mengedukasi dan memotivasi para ayah/wali itu untuk memaksimalkan upaya dalam memenuhi kewajiban atas nafkah tersebut. Jadi jelas, penyelesaian benang kusut ketenagakerjaan pada dasarnya bertumpu pada upaya pemenuhan kebutuhan hidup serta upaya meningkatkan kesejahteraan hidup.

“Rasulullah saw. Pernah memberi dua dirham kepada seorang Anshar, lalu, ‘belilah makanan seharga dirham dengan uang itu dan berikanlah kepada keluargamu. Dan sisanya belilah sebuah kapak dengan satu dirham dan bawa kapak itu kepadaku.’ Lalu Rasulullah membela kayu dengan kapak tersebut, kemudia berkata, ‘pergilah dan carilah kayu bakar, lalu juallah. Jangan kembali ke hadapanku, kecuali setelah 15 hari.’ Lelaki Anshar itu pun mencari kayu bakar lalu menjualnya. Setelah ia dating lagi kepada Rasulullah dengan membawa 10 dirham. Sebagian ia belikan baju dan sebagiannya lagi makanan.” (HR Ibnu Majah, 2189)

Kedua, negara bertanggung jawab membuka lapangan kerja untuk menunaikan amanah sebagai pengurus rakyatnya. Selain membuka lapangan kerja, negara dapat memberi modal kepada para ayah/wali itu untuk mengembangkan usaha dalam rangka meningkatkan taraf hidupnya. Inilah mekanisme sistemis sebagai wujud relasi antara rakyat dan negara.

Ketiga, adanya SDM dengan skill (keahlian, keterampilan) yang negara butuhkan tentu melalui proses yang tidak bisa instan. Di sinilah peran negara untuk mempersiapkan SDM. Hal itu bisa negara lakukan melalui pendidikan formal seperti mendirikan sekolah maupun pendidikan tinggi dengan berbagai jurusan. Juga berupa pelatihan, pembekalan skill, maupun program belajar dari negara lain. Ini sebagaimana yang pernah Rasulullah saw. lakukan saat mengutus beberapa sahabat untuk mempelajari teknologi perang di Yaman.

Inilah kebijakan dalam politik ekonomi Islam untuk menciptakan lapangan kerja sehingga dapat memutus rantai pengangguran di masyarakat. Politik ekonomi Islam ini merupakan penerapan berbagai kebijakan yang menjamin tercapainya pemenuhan semua kebutuhan pokok.

Hal ini menunjukkan bahwa Islam menekankan pada pemenuhan kebutuhan masyarakat secara individu per ndividu. Oleh karena itu, negara memberi perhatian penting terkait aspek distribusi harta di tengah-tengah masyarakat demi memenuhi kebutuhan individu per individu.

Hal ini bertujuan untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan masyarakat secara utuh baik sandang, pangan, pendidikan, dan kesehatan. Ini menegaskan pemimpin dalam Islam tidak sekadar berpijak pada angka statistik nasional lantas melakukan generalisasi untuk mengeklaim terjadinya pertumbuhan ekonomi tetapi Islam sangat sigap dalam mengurusi urusan rakyat tanpa tapi tanpa nanti.Wallahu ’alam Bishawwab. Penulis : Sintia Demolingo (Aktivis Muslimah).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *