Biaya Haji Mahal: Antara Efisiensi dan Aroma Bisnis

OTANAHANEWS.COM – Setiap muslim tentu mendambakan untuk menyempurnakan rukun Islam kelima, yakni menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci. Namun, panjangnya antrean dan tingginya biaya menjadi hambatan besar bagi banyak calon jemaah.

Merespons hal ini, Presiden Prabowo Subianto menggagas pembangunan kampung Indonesia di dekat Masjidilharam, sebagai langkah strategis untuk menekan biaya haji. (Setkab ,(4/5/2025).

Rencana tersebut telah disampaikan langsung kepada Putra Mahkota Arab Saudi, Pangeran Muhammad bin Salman. Dalam pernyataannya saat meresmikan Terminal Khusus Haji dan Umrah di Bandara Soekarno-Hatta, Prabowo menegaskan bahwa pembangunan ini diharapkan memangkas biaya penginapan dan meningkatkan efisiensi anggaran. Ia juga memerintahkan evaluasi terhadap komponen lain seperti penerbangan dan kebutuhan logistik agar biaya haji bisa semakin terjangkau (iNews.id, 4/5/2025). Meski pemerintah telah berhasil menurunkan biaya haji sekitar Rp4 juta di awal 2025, menjadikan rata-rata BPIH sebesar Rp89,4 juta (CNN Indonesia, 4/5/2025).

Prabowo menyatakan belum puas. Ia menargetkan agar biaya haji Indonesia bisa lebih murah dibanding Malaysia, mengingat Indonesia adalah negara dengan jumlah jemaah haji terbanyak di dunia, mencapai 2 ,2 juta orang setiap tahun. Kentalnya Aroma Bisnis dalam Kebijakan ONH. Perlu diketahui demi mewujudkan penyelenggaraan haji yang efisien, mulai 2026 penyelenggaraan ibadah haji tidak ditangani oleh Kementerian Agama (Kemenag), tetapi oleh Badan Penyelenggara Haji (BP Haji).

Sedangkan keuangan haji dikelola oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).BPKH memiliki peran strategis, yaitu penerimaan, pengembangan, dan pengeluaran keuangan haji. BPKH menerima setoran awal calon jemaah haji lalu mengembangkannya. Pengamat politik dari Indonesia Justice Monitor (IJM) Luthfi Affandi S.H., M.H. memprediksi, jika BPIH naik, ONH hampir pasti akan mengalami kenaikan.“Kalau BPIH mengalami kenaikan, kemungkinan besar ONH juga naik,”

Ia lalu membandingkan dengan BPIH pada 1444 H, yaitu rata-rata Rp90 juta, sedangkan yang diusulkan sekarang Rp105 juta yang berarti naik Rp15 juta.

“Adapun ONH yang dibayarkan jemaah haji tahun lalu sebesar kurang lebih Rp50 juta. Sisanya sekitar Rp40 juta ditanggung oleh BPKH dari uang jemaah haji yang dibisniskan entah di sektor apa yang hasilnya untuk menyubsidi BPIH, ” jelasnya.

Tentu ini adalah usulan yang pasti akan membebani jemaah, enggak kebayang kalau mereka mau berangkat pasti harus melunasi sekian puluh juta lagi. Jadi untuk pelunasan harus mengeluarkan uang yang sangat besar,” ulasnya.

Tak bisa dipungkiri lagi semakin memperlihatkan kuatnya aroma bisnis dalam penyelenggaraan haji. Secara filosofis, latar belakang pembentukan BP Haji memang karena aspek keuntungan (profit).

Akademisi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Mustolih Siradj menjelaskan, pembentukan BP Haji oleh Prabowo adalah untuk merespons perubahan kebijakan yang dilakukan Arab Saudi melalui Visi Putra Mahkota Muhammad bin Salman (MBS) 2030, yaitu pemasukan negara dari sektor nonminyak.

Ditambah dengan melihat kualitas layanan yang rendah tersebut, publik akhirnya mempertanyakan transparansi penggunaan dana haji. Begitu besar dana yang sudah dikeluarkan, mengapa kualitas layanannya selalu bermasalah? Jika dilakukan efisiensi untuk musim haji berikutnya, dikhawatirkan kualitas layanan makin memprihatinkan. Tampak bahwa kapitalisasi pengelolaan dana haji merugikan jemaah.Kapitalisasi ibadah haji merupakan sebuah keniscayaan dalam sistem kapitalisme. Ibadah dianggap sebagai kegiatan duniawi yang diarahkan untuk mencapai nilai materi (qimah madiyah).

Sejatinya, ibadah mahdhah (ritual) seperti haji ditujukan untuk meraih nilai ibadah (qimah ruhiyah), tidak boleh ditujukan untuk meraih materi. Melayani rakyat dalam urusan ibadah seharusnya merupakan tugas negara sebagai pengurus rakyat (raa’in), bukan malah dikapitalisasi.Kapitalisasi pengelolaan dana haji menunjukkan bahwa negara makin lepas tangan dalam urusan haji.

Kapitalisme mengubah fungsi negara yang seharusnya mengurus kebutuhan rakyat menjadi berbisnis dengan rakyat. Negara hanya memosisikan diri sebagai regulator, sedangkan pelaksana sebenarnya adalah swasta, yaitu perusahaan yang mendapatkan tender (kontrak kerja) dari pemerintah. Karena diselenggarakan oleh swasta, aroma bisnis terasa kental dalam ibadah haji.

Negara memandang rakyat hanya sebagai konsumen, bukan sebagai pihak yang harus diurus sebaik mungkin.Kapitalisasi ibadah haji menjadikan negara tidak mengurus (riayah) penyelenggaraan haji dengan baik demi terselenggaranya kewajiban dari Allah, tetapi malah memanfaatkan setiap momen penyelenggaraan ibadah haji untuk mendapatkan keuntungan. Mulai dari tiket pesawat, konsumsi, penginapan, tenda, akomodasi, dll. semuanya diserahkan pada swasta. Fokus pemerintah adalah memperoleh keuntungan, bukan memberikan pelayanan terbaik. Walhasil pelaksanaan haji akan selalu tidak profesional dan bermotif bisnis.

Hal ini tentu merugikan umat Islam.*Amanah Pelaksanaan Haji Dalam Sistem Islam*Setiap muslim pasti sudah familiar dengan salah satu hadis Nabi saw. yang cukup masyhur dan selalu menjadi pengingat bagi mereka yang menjadi penguasa dan pejabat negara. Dari Abdullah bin Umar ra., Rasulullah saw. bersabda, “Ketahuilah bahwa setiap dari kalian adalah pemimpin dan setiap dari kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang pemimpin umat manusia adalah pemimpin bagi mereka dan ia bertanggung jawab dengan kepemimpinannya atas mereka. Seorang laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya dan ia bertanggung jawab atas mereka.

Seorang wanita adalah pemimpin bagi rumah suaminya dan anaknya, dan ia bertanggung jawab atas mereka. Seorang budak adalah pemimpin bagi harta tuannya dan ia bertanggung jawab atasnya. Maka, setiap dari kalian adalah adalah pemimpin yang bertanggung jawab atas kepemimpinannya.” (HR Abu Dawud).Setiap amanah itu berat lantaran pertanggungjawabannya di hadapan Allah Swt. kelak di akhirat. Oleh karenanya, negara selaku pengurus urusan ibadah haji khususnya, mesti berhati-hati dalam mengelola dana umat.

Dalam Islam, penguasa adalah sebagai raa’in (pengurus rakyat), sehingga akan memudahkan urusan rakyat terlebih dalam penunaian ibadah, karena berhaji adalah ibadah,sudah semestinya negara tidak mengambil keuntungan dari penyelenggaraannya. Inilah salah satu dampak jika penyelenggaraan urusan ibadah umat Islam tewarnai sistem kapitalisme. Negara terjebak pada hitung-hitungan untung dan rugi dalam melakukan pelayanan dan pelaksanaan ibadah haji kepada masyarakat.

Negara berkewajiban memberi kemudahan bagi setiap muslim untuk melaksanakan ibadah haji. Kewajiban tersebut akan terlaksana dengan baik jika pengaturan haji kembali pada sistem Islam secara kafah.

Berikut ini kebijakan yang bisa ditempuh oleh kepemimpinan islam sebagai sebuah negara penyelenggara ibadah haji:Pertama, negara Islam akan membentuk departemen khusus untuk mengurus urusan ibadah haji dan umrah. Ini berlaku dari pusat sampai daerah yang tersentralisasi. Hal ini agar memudahkan calon haji dalam persiapan, bimbingan, pelaksanaan, sampai kepulangannya.

Departemen ini akan bekerja sama dengan Departemen Kesehatan dan Departemen Perhubungan guna pelayanan terbaik bagi calon haji.Kedua, jika negara harus menetapkan ONH, besar dan kecilnya akan disesuaikan dengan biaya yang dibutuhkan para jemaah berdasarkan jarak wilayahnya dengan Tanah Haram (Makkah-Madinah), serta akomodasi yang dibutuhkan selama pergi dan kembali dari tanah suci.

Dalam penentuan ONH ini, paradigmanya adalah pengurusan urusan jemaah haji dan umrah, bukan profit atau untung-rugi. Khilafah dapat membuka opsi, yakni rute darat, laut, atau udara dengan konsekuensi biaya yang berbeda.Ketiga, adanya sebuah kesatuan wilayah yang berada dalam satu kepemimpinan dan satu wilayah negara. Oleh karenanya, akan ada kebijakan penghapusan visa haji dan umrah karena seluruh jemaah adalah warga Khilafah yang bisa bebas keluar masuk Makkah-Madinah tanpa visa. Mereka hanya perlu menunjukkan kartu identitas diri saja, semisal KTP atau paspor, sedangkan untuk visa berlaku untuk muslim yang menjadi warna negara kuffar, baik harbi hukman maupun fi’lan.Keempat, keterbatasan tempat tidak akan menjadi kendala berarti. Khilafah bisa saja menetapkan kewajiban haji dan umrah berlaku seumur hidup dan hanya bagi mereka yang mampu.

Dengan kebijakan ini, sangat memungkinkan pelaksanaan haji diprioritaskan untuk masyarakat yang belum pernah berhaji dan umrah, serta memenuhi syarat dan berkemampuan.Kelima, pembangunan infrastruktur Makkah-Madinah. Pembangunan ini telah dilakukan terus-menerus sejak zaman Khilafah Islam/kepemimpinan Islam. Mulai dari perluasan Masjidilharam, Masjid Nabawi, hingga pembangunan transportasi massal dan penyediaan logistik bagi jemaah haji dan umrah.

Hal yang sama akan terus-menerus dilakukan oleh Khilafah selanjutnya. Namun, harus dicatat, perluasan dan pembangunan ini tidak akan menghilangkan situs-situs bersejarah karena situs-situs itu bisa membangkitkan kembali memori jamaah haji tentang perjalanan hidup Nabi dalam membangun peradaban Islam sehingga bisa memotivasi mereka. Wallahualam. Penulis: Rohayati Sudirman Aktivis Mahasiswi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *