OTANAHANEWS.COM – Zions Israel melancarkan serangan mendadak ke wilayah Iran, termasuk ibu kota Teheran, Jumat (13-6-2025). Televisi pemerintah Iran melaporkan, serangan tersebut telah menghantam sejumlah bangunan tempat tinggal, dan menewaskan sedikitnya 60 orang termasuk 20 anak-anak. Serangan juga menyasar infrastruktur penting nonmiliter, seperti depo gas utama dan kilang minyak pusat kota Teheran. Seorang pejabat militer Zions menyebut serangan mereka sebagai langkah “preemptif” terhadap dugaan program rahasia senjata nuklir Iran.
Menurut intelijen Zions Israel, Iran disebut telah memiliki cukup bahan untuk merakit 15 bom nuklir dalam hitungan hari, meski klaim ini belum mendapat verifikasi independen. Konflik ini tidak muncul tiba-tiba. Hubungan Iran dan Entitas Yahudi mengalami perubahan sejak Revolusi Islam Iran 1979. Sebelum revolusi, di bawah Shah Mohammad Reza Pahlavi, Iran menjalin hubungan dekat dengan Entitas Yahudi. Namun, setelah Khomeini mengambil alih kekuasaan di Iran, hubungan itu putus total. Iran tidak hanya memutus hubungan diplomatik dengan Entitas Yahudi, tetapi juga mengecam keberadaan negara Yahudi ini. Iran menyebut Yahudi sebagai ”Iblis Kecil”.
Konflik Yahudi-Iran bukan hanya berlangsung dalam perang narasi, tetapi juga melalui perang proksi. Iran aktif mendukung kelompok-kelompok perlawanan, seperti Hamas di Gaza, Hizbullah di Lebanon, dan berbagai milisi Syiah di Irak dan Yaman sebagai alat melawan Yahudi secara tidak langsung. Entitas Yahudi merespons dengan melancarkan operasi intelijen, termasuk melakukan serangan udara ke target-target di Suriah yang dianggap sebagai bagian dari Syiah yang menghubungkan Iran ke Mediterania melalui Irak, Suriah, dan Lebanon Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi menegaskan bahwa Iran tidak menginginkan perang, tetapi terpaksa melakukan pembalasan kepada Zions dengan cara menyerang sejumlah wilayah Zions, termasuk Tel Aviv, Yerusalem, dan Haifa. Ia pun menyampaikan kesiapan Iran untuk menghentikan serangan apabila Zions Israel juga menghentikan agresinya.Segera setelah serangan Yahudi, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menyatakan pada Jumat (13-6-2025) bahwa serangan Israel terhadap Iran sangat hebat.
“Iran harus membuat kesepakatan, sebelum tidak ada yang tersisa,” ucapnya. Kemudian, pada Ahad (15-6-2025), di platform Truth Social, Trump berkata, “Iran dan Israel harus membuat kesepakatan, dan akan membuat kesepakatan, seperti yang saya minta India dan Pakistan buat. Demikian pula, kita akan segera mencapai perdamaian antara Israel dan Iran! Banyak panggilan dan pertemuan sekarang sedang berlangsung.”
Dukungan Amerika Serikat terhadap Agresi Entitas Yahudi, bukti imperialisme
Agresi militer yang dilakukan oleh entitas Zionis Israel terhadap Iran dan wilayah-wilayah Muslim lainnya bukanlah tindakan tunggal yang bersifat reaktif atau lokal, tetapi merupakan bagian dari arsitektur geopolitik global yang dirancang dan dikawal oleh Amerika Serikat. Fakta-fakta di lapangan menunjukkan bahwa serangan tersebut mustahil terjadi tanpa dukungan penuh dari Washington, baik dalam bentuk logistik, senjata, maupun legitimasi politik internasional. Wakil Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, secara tegas menyatakan bahwa serangan militer yang dilakukan Israel pada pertengahan Juni 2025 tidak mungkin berlangsung tanpa dukungan langsung Amerika Serikat. Dalam wawancaranya dengan Tasnim News dan media pemerintah Iran (13 Juni 2025), Araghchi mengungkapkan bukti kuat keterlibatan AS, antara lain: Pangkalan militer aktif di kawasan Teluk, seperti Al-Udeid di Qatar, NSA Bahrain, dan pangkalan di Uni Emirat Arab, yang menjadi pusat logistik dan koordinasi. Penggunaan radar dan satelit militer AS, yang dimanfaatkan dalam operasi bersama Israel. Pertukaran data intelijen antara US CENTCOM dan IDF (militer Israel) yang semakin intensif sejak Israel resmi dimasukkan ke dalam area komando CENTCOM pada Januari 2021. Pernyataan Iran ini tidak berdiri sendiri, tetapi diperkuat oleh komentar dari mantan Presiden AS, Donald Trump. Trump: “Kami Mendukung Sepenuhnya dan Senjata Terbaik Kami Ada di Tangan Mereka” Dalam wawancara eksklusif dengan CNN (13 Juni 2025), Trump secara terbuka mendukung agresi Israel terhadap Iran: “Kami tentu saja mendukung (serangan), jelas, dan mendukungnya seperti belum pernah ada yang mendukung sebelumnya… Iran seharusnya mendengarkan saya 60 hari lalu… dan ini adalah hari ke-61.” Ia bahkan menambahkan, “Kami membuat senjata terbaik dan paling mematikan di dunia. Entitas Yahudi memiliki banyak dari senjata itu, dan lebih banyak lagi akan segera tiba. Mereka tahu cara menggunakannya.” Pernyataan ini secara gamblang menunjukkan bahwa Israel bukanlah aktor independen dalam konflik ini, melainkan alat proyeksi kekuatan militer dan kepentingan strategis AS di Timur Tengah.
Dukungan Militer dan Politik AS, terlihat dari dukungan Washington terhadap Tel Aviv bukanlah sekadar pernyataan politik, melainkan tercermin nyata dalam bentuk suplai militer, pendanaan, dan perlindungan diplomatik yang sistemik. Menurut laporan Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI): 73% dari seluruh senjata yang digunakan Israel berasal dari AS. Termasuk di dalamnya adalah sistem pertahanan udara Iron Dome, rudal presisi tinggi, jet tempur F-35, serta drone tempur. Sejak 2019, AS mengucurkan bantuan militer tahunan sebesar $3,8 miliar kepada Israel dalam kerangka MoU hingga 2028.
Di ranah diplomatik, AS juga tercatat telah: Memveto lebih dari 47 resolusi PBB yang mengecam Israel sejak 1972. Melindungi Israel di berbagai forum internasional, termasuk saat agresi ke Gaza, Lebanon, dan kini Iran. Israel sebagai Proxy Strategis Amerika Serikat Dukungan AS terhadap Israel bukanlah semata karena ikatan historis, keagamaan, atau kesamaan “nilai-nilai demokrasi”, melainkan merupakan bagian dari grand strategy geopolitik Amerika. Strategi ini dapat dianalisis dalam kerangka berikut:
- Penguasaan Pasokan Energi Dunia
Amerika, meskipun kini eksportir energi bersih, tetap memiliki kepentingan besar untuk mengendalikan kawasan Teluk Persia, yang menyimpan hampir 48% cadangan minyak dunia dan menyuplai sekitar 30% kebutuhan global. Jalur energi vital seperti Selat Hormuz menjadi titik rawan yang selalu diawasi oleh Armada Kelima AS. Ketergantungan Eropa pada minyak Timur Tengah membuat AS berada di posisi strategis sebagai “pengendali energi global.” - Menghalau Kebangkitan Kekuatan Politik Islam
AS menyadari potensi besar kebangkitan politik Islam sebagai ancaman langsung terhadap tatanan global liberal sekuler. Hal ini terlihat dari strategi jangka panjang mereka: Laporan RAND Corporation (2007) “Building Moderate Muslim Networks” merekomendasikan untuk memecah gerakan Islam transnasional dan mendorong Islam moderat-nasionalistik. Intervensi pasca-Arab Spring, seperti mendukung kudeta terhadap Presiden Mursi di Mesir (2013) dan melumpuhkan kekuatan Islamis di Libya dan Suriah, merupakan wujud nyata kebijakan ini. - Menjamin Eksistensi Entitas Yahudi (Israel)
Keamanan dan keberlangsungan Israel adalah “core interest” Amerika Serikat. Dalam pidatonya di AIPAC (6 Maret 2023), Presiden Joe Biden menyatakan: “Dukungan Amerika terhadap Israel adalah mutlak, bipartisan, dan tidak bisa dinegosiasikan.”Israel juga berfungsi sebagai: Mitra uji coba senjata AS (F-35, Iron Beam, sistem AI militer). Poros intelijen dan keamanan siber regional. Alat outsourcing kebijakan militer AS untuk menghadang pengaruh Iran, Hizbullah, Hamas, dan kekuatan Islam lainnya. Kebijakan “Offshore Balancing” dan Politik Veto Amerika menjalankan strategi offshore balancing: mencegah munculnya kekuatan dominan di kawasan strategis tanpa keterlibatan langsung. Israel memainkan peran “tangan militer” AS untuk menghancurkan atau menekan aktor-aktor regional yang dianggap mengancam hegemoni AS, terutama Iran dan gerakan Islam transnasional. Bahkan ketika pelanggaran HAM Israel di Gaza atau Tepi Barat dikecam dunia internasional, AS tetap menjadi benteng pelindung terakhir dengan hak vetonya di PBB. Contoh paling nyata adalah veto AS terhadap resolusi penghentian agresi Israel ke Gaza pada 2023 dan 2024.
Imperialisme AS dalam Wujud Dukungan terhadap Zionisme
Amerika Serikat tidak hanya menjadi pendukung, tetapi juga arsitek strategis dari kejahatan-kejahatan yang dilakukan entitas Zionis di Timur Tengah. Dukungan ini bersifat sistemik—mencakup logistik, teknologi, ekonomi, hingga proteksi politik. Semua dilakukan demi tiga kepentingan utama: Mengendalikan pasokan energi dunia. Menghalau kebangkitan kekuatan politik Islam. Menjamin eksistensi dan dominasi Israel sebagai proksi penjaga kepentingan AS.
Dengan demikian, setiap agresi militer yang dilakukan Israel, sejatinya adalah ekspresi politik imperialisme AS dalam format lokal. Dunia Islam harus membaca ulang seluruh peristiwa ini secara geopolitik, bukan sebagai konflik sektarian atau regional belaka, melainkan sebagai bagian dari konfrontasi ideologis antara kekuatan hegemonik dan aspirasi kebangkitan Islam global.
Secercah Harapan
Serangan balik yang dilakukan Iran cukup mengguncang Entitas Yahudi, memberikan secercah harapan bahwa umat Islam mampu melakukan perlawanan terhadap Entitas Yahudi sebagai penjajah. Di tengah penderitaan rakyat Palestina akibat genosida yang dilakukan Entitas Yahudi, aksi Iran muncul sebagai simbol bahwa umat Islam bisa melawan. Apa yang dilakukan Iran seharusnya menjadi dorongan bagi seluruh umat bahwa kemampuan membalas itu ada.
Sayang, saat pesawat tempur Entitas Yahudi melintasi wilayah udara negeri kaum muslim, seperti Suriah, Irak, Mesir, dan Turki, para penguasanya hanya menjadi penonton tanpa pergerakan. Pesawat-pesawat itu melintas di wilayah udara mereka, menghancurkan dan melakukan pembunuhan di Iran, lalu kembali ke wilayah yang diduduki dalam kondisi aman dan selamat. Tidak ada satu pun tembakan dari penguasa itu yang dilepaskan ke pesawat-pesawat tersebut. Sejatinya, negara yang enggan masuk dalam konfrontasi melawan Entitas Yahudi demi mengamankan posisi akan membayar mahal. Yahudi yang menyerang Iran, sebelumnya sudah menyerang Gaza, Lebanon, dan melakukan penangkapan di Suriah. Ini menunjukkan bahwa Yahudi tidak akan pernah berhenti menyerang wilayah Islam kecuali jika umat dan tentara Islam bisa mengakhiri eksistensinya.
Para penguasa negeri muslim seharusnya tidak lupa ingatan bahwa mereka adalah umat yang satu. Selama ratusan tahun sejak Islam menguasai Jazirah Arab dan Mesir, wilayah itu bersatu di bawah kekuasaan Khilafah Islam hingga keruntuhannya pada 1924. Perang Dunia I telah melepaskan Timur Tengah dari kekhalifahan, lalu berdiri negara bangsa atas dasar nasionalisme. Nasionalisme menyebabkan kaum muslim merasa lebih terikat kepada bangsanya masing-masing daripada Islam. Mereka rela keyakinan agamanya dikorbankan demi keutuhan bangsanya. Mereka juga merasa lebih bersaudara dengan sebangsanya daripada dengan yang seakidah. Serangan ke Iran akan dirasakan sebagai persoalan bangsa Iran, bukan persoalan kaum muslim. Mereka lebih peka terhadap persoalan yang akan “mengancam bangsanya” daripada mengancam umat Islam.
Dengan ide nasionalisme, negara-negara Barat bisa melanggengkan penjajahannya di negeri-negeri muslim dan mendirikan entitas Yahudi di Palestina sebagai sarana melanggengkan kepentingan mereka di Timur Tengah. Nasionalisme pula yang menyebabkan Iran membatasi skala perang dengan Yahudi. Kondisi ekonomi dan politik domestik, regional, maupun global tidak memungkinkan Iran optimal menghadapi serangan Yahudi. Secara internal, ekonomi Iran sedang terpuruk karena inflasi tinggi, menurunnya nilai tukar rial, ekspor minyak turun, juga krisis energi yang menyebabkan pemadaman listrik harian dan kelangkaan bahan bakar.
Di sisi lain, Yahudi juga menghadapi tekanan ekonomi akibat perang Gaza. Namun, meski sama-sama memiliki problem internal, secara regional Yahudi didukung oleh sejumlah negara Arab yang memusuhi Iran. Secara global Yahudi mendapat dukungan kuat dari negara-negara Barat, utamanya AS dan Uni Eropa. Yahudi adalah penerima bantuan terbesar dari AS, mendapat dukungan diplomatik aktif di PBB, dan perlindungan dari sanksi internasional. Ini berbeda dengan Iran yang sering kali terisolasi secara politik dan ekonomi akibat sanksi internasional atas program nuklirnya, serta dikaitkan dengan kelompok milisi seperti Hizbullah, Hamas, dan Houthi. Secara global yang berpotensi menopang Iran hanya Rusia dan Cina. Di tengah meningkatnya konflik antara Iran dan entitas penjajah Yahudi, umat Islam kembali menyaksikan betapa lemahnya kekuatan politik dan militer negara-negara Muslim saat ini. Iran, misalnya, memiliki ambisi besar dalam pengembangan senjata dan teknologi nuklir, namun tetap tak mampu lepas dari tekanan hegemoni Barat. Ini menunjukkan satu hal penting: tak satu pun negeri Muslim mampu berdiri sendiri menghadapi kekuatan imperialis dunia, kecuali jika seluruh kekuatan umat disatukan di bawah satu kepemimpinan Islam.
Persiapkan Kekuatan yang Menakutkan Musuh
Allah Swt. berfirman: “Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu miliki dan dari pasukan berkuda yang dapat menggentarkan musuh Allah, musuhmu, dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya, tetapi Allah mengetahuinya.” (QS Al-Anfal: 60)
Ayat ini merupakan seruan langsung dari Allah kepada umat Islam untuk menjadi kekuatan militer yang ditakuti. Ibnu Katsir menafsirkan kata “quwwah” (kekuatan) sebagai segala bentuk kekuatan militer dan teknologi yang mampu menggentarkan musuh. Maka jika hari ini musuh-musuh Islam memiliki rudal hipersonik dan nuklir, umat Islam pun wajib mengejar dan melampaui itu.
Senjata Islam: Untuk Pembebasan, Bukan Penjajahan
Sepanjang sejarahnya, kekuatan militer Islam tidak pernah digunakan untuk menjajah, mengeksploitasi, atau membantai manusia. Sebaliknya, digunakan untuk futuhat—pembebasan manusia dari penindasan menuju keadilan syariat Islam. Di bawah panji Islam, rakyat di wilayah yang dibebaskan mendapatkan hak-haknya, keadilan hukum, keamanan, dan kesejahteraan. Sebagaimana Allah nyatakan: “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia. Kamu menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar serta beriman kepada Allah.”(QS Ali ‘Imran: 110)
Dengan demikian, kekuatan militer Islam bukan alat penindas, melainkan penjaga risalah langit yang membawa rahmat ke seluruh dunia.
Umat Tak Akan Kuat Tanpa Persatuan
Realitas menunjukkan, seluruh kekuatan negeri-negeri Islam akan tetap lemah dan tercerai berai jika tidak disatukan dalam satu kepemimpinan global. Perbedaan kepentingan, politik nasionalistik, dan loyalitas kepada negara-negara adidaya seperti Amerika telah melumpuhkan potensi umat yang luar biasa. Rasulullah saw. bersabda: “Siapa yang mati tanpa ada baiat di lehernya, maka ia mati dalam keadaan jahiliyah.”(HR Muslim)
Hadis ini mengisyaratkan kewajiban adanya satu pemimpin umum kaum Muslim (khalifah) yang menyatukan seluruh negeri Islam dalam satu kekuatan strategis, baik militer, politik, maupun ekonomi. Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Nizham al-Islam menegaskan: “Kekuatan umat Islam hanya bisa diwujudkan dalam satu negara, satu kepemimpinan, satu panji, dan satu hukum yaitu syariat Islam.”
Khilafah: Pemimpin Umat, Pelindung Al-Aqsha
Umat Islam harus menyadari bahwa satu-satunya kekuatan yang akan mampu membebaskan Palestina dan menghancurkan penjajah Yahudi adalah kekuatan militer Khilafah. Bukan OKI, bukan perundingan dua negara, bukan juga embargo atau boikot parsial. “Hari kiamat tidak akan terjadi hingga kaum Muslim memerangi Yahudi. Kaum Yahudi akan bersembunyi di balik batu dan pohon, lalu batu dan pohon itu berkata, ‘Wahai Muslim, wahai hamba Allah, ada Yahudi di belakangku, datanglah dan bunuh dia,’ kecuali pohon gharqad karena itu pohon Yahudi.”(HR Muslim)
Hadis ini adalah janji kenabian bahwa kekuatan yang akan menghancurkan Israel adalah pasukan Islam di bawah kepemimpinan khalifah, bukan negara-negara sekuler saat ini. Allah Menjanjikan Kemenangan Bagi Umat yang Berjuang “Dan pada hari kemenangan itu bergembiralah orang-orang beriman karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa saja yang Dia kehendaki, dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.” (QS Ar-Rum: 4–5)
Janji Allah ini tidak diberikan kepada umat yang lemah dan tercerai-berai, tetapi kepada umat yang beriman dan bersungguh-sungguh dalam menegakkan syariat-Nya, termasuk dalam bidang militer, politik, dan persatuan global. Penulis : Karmila Napu,S.Pd
Pengajar.