Palestina Butuh Tindakan, Bukan Tanggapan!

OTANAHANEWS.COM – Sampai detik ini, Palestina masih menjadi sasaran genosida oleh Zionis yahudi. Setiap hari, kabar duka datang silih berganti, seolah kematian dan penderitaan adalah hal biasa bagi rakyat Palestina. Sayangnya, dunia mulai terbiasa dengan berita-berita itu, seolah-olah tragedi kemanusiaan yang menimpa mereka hanyalah sekedar berita lewat atau angka-angka di layar, dan serangan terus terjadi tanpa memandang waktu.

Akses bantuan diblokir, serangan militer terjadi bahkan saat hari raya. Baru-baru ini, Israel kembali menunjukkan kebiadabannya dengan menutup akses bantuan di Gaza. Serangan di sekitar lokasi distribusi yang dikelola GHF (Gaza Health Foundation) telah menewaskan lebih dari 100 warga dan melukai ratusan lainnya. Bahkan, 33 orang gugur di hari pertama Idul Adha (06/06/2025), menggenapkan total korban menjadi lebih dari 54.700 jiwa. (beritasatu.com
Semua kalangan menjadi target kekejaman mereka. Bahkan bayi-bayi kecil yang belum tahu apa-apa pun ikut jadi korban. Bagi mereka, kesalahan bayi-bayi itu hanyalah karena lahir sebagai muslim Palestina. Lebih parahnya, Zionis menggunakan kelaparan sebagai senjata, membiarkan rakyat Palestina mati perlahan. Bahkan saat hari raya idul adha, serangan tetap terjadi tanpa henti.

Ketika Dunia Tak Lagi Manusiawi
Yang lebih menyakitkan dari semua ini adalah sikap dunia internasional. Negara-negara besar yang selama ini mengklaim dirinya sebagai penjaga hak asasi manusia, justru berubah menjadi penonton bisu di hadapan genosida. Bahkan para pemimpin negeri-negeri Muslim juga hanya sibuk retorika tanpa tindakan nyata dengan mengirimkan pasukan untuk mengusir penjajah. Mereka hanya sibuk dengan pernyataan sikap dan kecaman, namun tak berani mengambil langkah konkret untuk membebaskan Palestina.

Ini bukan hanya soal agama maupun politik, tapi ini soal hati nurani. Padahal, rasa kemanusiaan adalah fitrah yang seharusnya hidup dalam diri setiap manusia. Jika melihat bayi kelaparan, tubuh mungil anak-anak yang syahid bersimba darah, jenazah yang berserakan dimana-mana serta ratapan para ibu dan orang tua yang kehilangan orang tercinta tak mampu mengetuk hati nurani mereka. Para penguasa negeri-negeri Muslim seolah-olah buta dan tuli sehingga tidak bisa melihat penderitaan, dan mendengar permintaan tolong dari saudara-saudara di Gaza. Mereka diam meski rasa kemanusiaan terkoyak. Padahal rasa itu adalah rasa fitrah bagi manusia, untuk menolong sesama.
Penguasa Penghalang, Nasionalisme Pemisah, Kapitalisme Perusak
Semestinya semua ini cukup menggetarkan hati nurani siapapun. Orang-orang kafir saja memiliki rasa kasihan pada penderitaan muslim Gaza dan menyerukan pembebasan Palestina. Namun anehnya, justru para penguasa negeri-negeri Muslim, hati mereka seperti telah membatu, tak ada empati, tak ada air mata, bahkan upaya. Sikap diam mereka disebabkan oleh belenggu nasionalisme yang mengajarkan bahwa genosida di Palestina adalah urusan dalam negeri Palestina, bukan urusan umat Islam.

Nasionalisme yang telah menjadikan umat Islam terpecah belah menjadi lebih dari 50 negara.
Dan semua ini merupakan buah penerapan sistem kapitalisme yang mengagungkan nilai materi dan rasa superior disertai dengan kebencian atas manusia lainnya. Kekejaman yang begitu rupa tak mengusik hati nurani para pemimpin muslim. Sementara itu, batas-batas nasionalisme yang diwariskan oleh penjajah Barat terus menjadi tembok penghalang, sehingga mereka gagal memberikan pengakuan adil terhadap saudara mereka di Palestina. Ironisnya, para pemimpin Arab justru menjalin hubungan dekat dengan Amerika Serikat, negara yang mendukung penuh Zionis Yahudi. Mereka mengikuti semua kebijakan yang ditetapkan AS, bahkan rela menanamkan uang triliunan dolar. Padahal, saat itu Trump berencana memindahkan penduduk Gaza dan menjadikan tanah suci tempat Isra Mikraj sebagai tempat maksiat. Lebih parah lagi, para pemimpin Muslim malah mengikuti tekanan AS untuk menandatangani Abraham Accords, yang berarti mengakui Zionis dan menjalin hubungan dengan penjajah Palestina.
Bahkan, ketika ummat berusaha mengambil peran untuk membela Palestina, justru para penguasa Muslim-lah yang menjadi penghalang. Para penguasa muslim bahkan menghalang-halangi upaya umat Islam untuk membela Palestina dengan melakukan aksi Global March to Gaza. Seperti yang dilakukan oleh pemerintah Mesir. Mereka telah menangkap ratusan aktivis dan mendeportasi puluhan warga asing yang hendak mengikuti konvoi. Mesir juga mengirim sejumlah preman untuk menyerang para peserta dan membubarkan aksi. Miris!

Langkah Konkret Membebaskan Palestina
Satu-satunya cara untuk bisa membebaskan Palestina adalah dengan jihad. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah dalam kitab Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah (Kepribadian Islam) Jilid II hlm. 257 menjelaskan bahwa jihad adalah kewajiban yang mutlak. Hal ini berdasarkan firman Allah Taala, “Diwajibkan atas kalian berperang.” (QS Al-Baqarah [2]: 216). Pada hlm. 252 beliau rahimahullah menjelaskan, jika musuh menyerang kaum muslim, jihad bagi orang-orang yang diserang hukumnya fardu ain dan bagi umat Islam di wilayah lain hukumnya fardu kifayah. Kefarduan tersebut tidak akan gugur sampai musuh dapat diusir dan tanah Islam dapat dibersihkan dari kekejian musuh.


Namun karena belenggu nasionalisme, tak seorang pun pemimpin negeri-negeri Muslim yang mengerahkan kekuatan militernya untuk membebaskan Palestina, meskipun umat telah berkali-kali menyerukan jihad. Ribuan peserta aksi solidaritas dunia hanya mampu menyuarakan panggilan jihad, namun tak mampu mewujudkannya. Sebab, jihad bukan sekedar semangat, namun membutuhkan dukungan kekuatan militer besar yang hanya bisa dilakukan oleh suatu negara. Allah SWT berfirman, “Persiapkanlah untuk (menghadapi) mereka apa yang kamu mampu, berupa kekuatan (yang kamu miliki) dan pasukan berkuda. Dengannya (persiapan itu) kamu membuat gentar musuh Allah, musuh kamu, dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya, (tetapi) Allah mengetahuinya. Apa pun yang kamu infakkan di jalan Allah niscaya akan dibalas secara penuh kepadamu, sedangkan kamu tidak akan dizalimi”(QS Al-Anfal [8]: 60).
Demikianlah, jihad membutuhkan persiapan militer yang besar dan persenjataan lengkap sehingga tidak mungkin terwujud tanpa adanya komando dari negara. Sementara itu, model negara hari ini yang berwujud nation state tidak mungkin menyerukan jihad, mereka justru bergandengan tangan dengan penjajah Yahudi.


Sungguh, seruan jihad secara nyata hanya bisa digerakkan oleh institusi Khilafah. Seorang khalifah bertanggung jawab penuh untuk mencurahkan seluruh kemampuannya untuk keluar berperang hingga mengutus pasukan dan ekspedisi militer demi membela kaum Muslim. Ia wajib memastikan pasukan-pasukan Islam tersebar di setiap penjuru wilayah, siap menghadang musuh-musuh Islam yang mengancam. Tidak ada satu pun perbatasan yang boleh dibiarkan tanpa penjagaan, semuanya harus dijaga dengan kekuatan militer yang siaga setiap saat.
Khalifah wajib untuk membangun segala sesuatu yang dapat melindungi kaum muslim dan negeri mereka dari serangan musuh, baik itu berupa benteng-benteng, parit-parit, maupun yang lainnya. Wajib atas khalifah untuk mempersiapkan segala jenis kekuatan yang dapat membentengi negara Islam dari orang-orang kafir dan tipu daya mereka (Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah, Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah (Kepribadian Islam) Jilid II hlm. 252).
Khilafah akan menyatukan seluruh negeri-negeri umat Islam dan menjadikan Palestina sebagai prioritas utama. Dengan kekuatan militer dari berbagai wilayah, mulai dari yang terdekat hingga yang terjauh, Khilafah akan mengerahkan pasukan bersenjata lengkap untuk menghadapi dan mengalahkan Zionis Yahudi, meskipun mereka didukung oleh kekuatan besar seperti Amerika Serikat. Serangan dilakukan secara total dari darat, laut, dan udara, dengan persenjataan modern seperti kapal selam, pesawat tempur, rudal, bom, drone, tank, dan lainnya. Semua ini dibiayai dari baitulmal, dan jika masih kurang, Khilafah akan menyerukan infak kepada seluruh kaum muslim sesuai kesanggupan terbaik yang mereka mampu.
Dengan segala upaya tersebut, sejatinya khalifah tengah berjuang menegakkan agama Allah Taala. Dan sebagai balasannya, solusi serta kemenangan dari Allah pasti akan datang kepada kaum Muslim. sama dengan janji-Nya dalam firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu”(QS Muhammad [47]: 7).
Dakwah Kolektif Menuju Kemuliaan
Kunci utama pembebasan Palestina adalah jihad dan Khilafah. Oleh karena itu, umat Islam wajib berjuang untuk menegakkan kembali Khilafah. Hal ini tidak akan tercapai selama umat masih hidup dalam cengkeraman sistem sekuler kapitalisme seperti sekarang. Maka, umat Islam harus diseru untuk meninggalkan system kufur tersebut dan mewujudkan sistem Islam (Khilafah). Seruan ini hanya bisa diwujudkan melalui aktivitas dakwah yang konsisten. Allah Taala berfirman, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (QS An-Nahl [16]: 125).
Upaya menegakkan Khilafah membutuhkan kepemimpinan jamaah dakwah ideologis yang konsisten menyerukan tegaknya Khilafah. Hal ini sebagaimana perintah Allah Taala dalam QS Ali Imran : 104,“Hendaklah ada di antara kamu segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung”.
Jamaah ini akan membangun kesadaran umat, dan menunjukkan jalan kemuliaan bagi umat. yaitu penerapan syariat Islam kafah dalam institusi Khilafah Islamiah. Umat Islam sudah seharusnya menjawab seruan jamaah dakwah Islam ideologis ini dan berjuang bersama menjemput nashrullah (pertolongan Allah Taala). Sesungguhnya pertolongan Allah Taala itu dekat bagi orang-orang yang yakin, sebagaimana firman-Nya,“Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat” (QS Al-Baqarah [2]: 214).
Wallahualam bissawab. Penulis : Fadila Mathias

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *